Mengapa Walikota “Baru” Surabaya

Menolak Jalan Tol Tengah Kota?

Senin, 20-12-2010 13:28:23 oleh: Yousri Nur Raja Agam
Kanal: Layanan Publik

Sungguh aneh! Kota Surabaya yang sedang menuju kota modern, kota metropolitan, dan dipimpin oleh seorang sarjana teknik, ternyata berpola pikir “pendek”. Demikian guman dan celoteh lebih separuh wakil rakyat yang duduk di DPRD Kota Surabaya.

Jalan Tol Tengah Kota

Adalah seorang perempuan bernama Ir.Tri Rismaharini,MT yang baru tiga setengah bulan menduduki jabatan walikota Surabaya, membuat pertikaian masyarakat. Walikota yang seharusnya menjadi penyegar, apalagi seorang ibu yang muslimah, ternyata berhati keras. Pergunjingan panjang tiada henti dan polemik di mediamassa juga menjadi-jadi. Belum lagi, obrolan dan debat kusir di warung kopi.

Risma – begitu walikota perempuan pertama di Surabaya itu akrab disapa – tanpa melihat “ukuran baju” yang dipakainya, seolah-olah sudah menjadi orang kuat. Entah “bisikan” apa yang didengar dari orang-orang di sekitarnya, ia “berani menantang tembok besar”.

Wanita yang sekarang mengenakan jilbab ini dengan gaya “gagah” melawan “kebijakan pemerintah pusat,  pemerintah Provinsi Jawa Timur, Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa Timur dan Perda Kota Surabaya, serta suara mayoritas rakyat Kota Surabaya yang diwakili DPRD Kota Surabaya”.

Alumnus ITS (Institut Teknologi Sepuluh November) Surabaya ini “mengajak” akademisi dari kampusnya berdemonstrasi menolak persetujuan sidang paripurna DPRD Kota Surabaya tentang persetujuan pembangunan jalan tol di tengah kota Surabaya. Dalam barisan insinyur itu, terlihat mantan Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur Prof.Dr.Ir. Daniel M.Rasjid, pakar permukiman Prof.Dr.Johan Silas dan mantan rektor ITS Prof.Dr.Soegiono.

Namun, belasan akademisi yang mengatasnamakan diri “Masyarakat Surabaya Menggugat” itu kalah dalam argumentasi di kantor DPRD Kota Surabaya. Bahkan, yang cukup memalukan, ucapan dua anggota delegasi, Sulistyanto Santoso dan Isa Anshori dinilai melecehkan dan mencemarkan lembaga DPRD Surabaya. Serta merta, dua orang intelektual ini diusir dari ruang sidang. Mereka digelandang empat petugas keamanan saat demo hari Jumat, 17 Desember 2010 itu.

Pemerintah Pusat

Pembangunan jalan tol di tengah kota Surabaya sudah dicanangkan cukup lama, saat Surabaya dipimpin Walikota Surabaya DR.H.Sunarto Sumoprawiro, tahun 1999. Proyek penanggulangan kemacetan lalulintas di Surabaya itu sebagai hasil studi para ahli dalam dan luar negeri yang peduli Surabaya. Pemerintah Pusat, melalui Kementerian Pekerjaan Umum – dulu Departemen PU – setelah mempertimbangkan berbagai hal sebelum memberi persetujuan pembangunan jalan tol di tengah kota Surabaya.

Wakil Walikota Surabaya, waktu itu Drs.H.Bambang Dwi Hartono,MPd yang mendampingi Cak Narto – panggilan akrab Sunarto Sumoprawiro – dan kemudian menjadi walikota Surabaya tahun 2002 – 2005 dan 2005 – 2010, pada awal tahun 2006 menerima surat persetujuan resmi dari Menteri PU. Surat Keputusan Menteri PU No.369/2005 itu bahkan menetapkan PT.Margaraya Jawa Tol (MJT) sebagai investor pelaksana jalan tol tengah kota Surabaya itu.

Berdasarkan Surat persetujuan Menteri PU No.369/2005 itu, kemudian DPRD Kota Surabaya mengesahkan Perda No.3 tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Surabaya.  Perda ini pun sudah mendapat persetujuan Pemerintah Provinsi Jawa Timur, sebelum disahkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri).

Menteri PU kemudian menyempurnakan SK No.369/2005 dengan mengubahnya dengan Keputusan Menteri (Kepmen) PU No.360 tahun 2008..Namun, pelaksanaan pembangunan tak kunjung dilaksanakan. Dalihnya, investor masih kesulitan dana.

Pertengahan tahun 2010 ini, PT.MJT berhasil membentuk konsorsium , sehingga masalah pendanaan dapat diatasi. Proyek jalan tol tengah kota Surabaya yang bakal menghabiskan dana Rp 9,2 triliun itu bakal dibiayai perusahaan konsorsium. Dengan tetap menggunakan nama PT.MJT, saham perusahaan dibagi menjadi: PT.Jasa Marga 55 persen, PT DGI 20 persen, PT.PP 20 persen dan PT.Elnusa 5 persen.

Dengan perusahaan konsorsium dan dana segar yang bakal dikucurkan untuk pembangunan jalan tol tengah kota yang sudah lama dirancang itu, PT.MJT menghubungi Pemkot Surabaya dan juga Pemprov Jatim. Pertemuan dengan Pemkot Surabaya dihadiri Walikota Surabaya, Bambang DH yang saat itu berada pada akhir masa jabatannya.

Bambang DH didampingi Plt.Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya Ir.Hendro – sebab saat itu Kepala Bappeko Tri Rismaharini sudah mengundurkan diri, karena mempersiapkan diri menjadi calon walikota Surabaya. Pejabat lain yang juga mendampingi Bambang DH adalah, Asisten I Sekretaris Kota Surabaya bidang Pemerintahan Hadi Siswanto Anwar,SH, Kepala Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Ir.Arief Darmansyah, serta staf ahli walikota Dr.Ir.Djamhadi yang juga Ketua Kadinda Kota Surabaya.

Risma Menolak

Nah, begitu Pemerintah Pusat menyatakan pembangunan jalan tol tengah kota di Surabaya tidak lama lagi akan dilaksanakan, walikota “baru” Tri Rismaharini merasa dilangkahi. Ia tersinggung dan “kebakaran jenggot”.

Berulang-ulang Risma menyatakan menolak rencana Pemerintah Pusat untuk membangun jalan tol di tengah kota Surabaya. Gubernur Jawa Timur Dr.H.Soekarwo sebagai kepala pemerintahan yang merupakan kepanjangtangan pemerintah pusat, berada pada posisi “serba salah”. Betapa tidak, sebagai gubernur Pakde Karwo – begitu Soekarwo akrab disapa – harus menjadi pengaman kebijakan pusat. Sedangkan sebagai kepala daerah Jawa Timur, mantan Sekda Jatim ini harus mengayomi para kepala daerah di Jawa Timur.

Risma bersikukuh menolak rencana pembangunan tol tengah kota Surabaya itu. Mantan Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Surabaya itu, mengharapkan yang ditindaklanjuti adalah pembangunan jalan lingkar timur dan lingkar barat Surabaya. Ia melihat, pembangunan tol tengah kota tidak akan memecahkan masalah kemacetan lalu-lintas di Surabaya. Justru, kalau jalan lingkar yang diprioritaskan, maka akan membuat kemacetan tengah kota akan berkurang. Sebab, kemacetan yang terjadi di tengah kota, akibat masih kurangnya jalur jalan raya di pinggir kota.

Dr.Ir.Djamhadi yang menjadi mantan staf ahli walikota Surabaya, menyatakan seharusnya walikota Tri Rismaharini bisa berpikir jernih. Proyek pembangunan jalan tol itu, merupakan pemecahan masalah lalu-lintas jangka panjang di tengah kota.

Mantan Gubernur Jatim HM Basofi Soedirman, juga menyatakan heran, mengapa proyek yang dibiayai dengan uang pemerintah pusat di lahan yang juga milik pemerintah pusat, kok ditolak Walikota Surabaya. Memang, katanya, sewaktu menjadi gubernur Jatim, ia merasakan pembangunan jalan tol tengah kota Surabaya itu perlu.

“Tetapi, kalau sekarang dianggap tidak perlu, saya juga tidak mengerti”, ujar pelantun lagu “Tidak Semua Laki-laki” itu.

Beberapa anggota DPRD Kota Surabaya, yang mayoritas menyetujui jalan tol tengah kota, menyatakan pembangunan jalan tol tengah kota Surabaya sebagai alternatif terbaik menjelang tahun 2025 mendatang. Sementara itu, jalan lingkar timur dan lingkar barat juga tetap dibangun. Surabaya masa depan, harus memperhitungkan jumlah kendaraan dengan ruas jalan yang ada. Artinya, walikota sebagai pengambil kebijakan tidak hanya berpikir jangka pendek. ***.

Sudah dimuat pada http://www.wikimu.com  Senin, 20 Desember 2010
Dipublikasi di Tak Berkategori | Meninggalkan komentar

David Beckham Bikin Victoria Menangis

Kapanlagi.com – Walau Victoria Beckham dikenal sebagai wanita tegar, terbukti ketika sang suami David Beckham dikabarkan berselingkuh, akhirnya Victoria berlinang air mata juga gara-gara pesepakbola satu ini.Namun kali ini air mata Victoria bukan lantaran dirinya bersedih, namun karena bangga atas ucapan dan prestasi sang suami ketika menerima lifetime achievement award di BBC’s Sport Personality of the Year di London, Minggu (19/12) kemarin.

Sang bintang sepakbola menerima penghargaan khusus atas kesuksesan yang ditunjukkannya dalam waktu yang cukup lama di dunia bola. David pun sempat terharu ketika para penonton memberinya standing ovation selama dua menit menemani dirinya berjalan ke atas panggung. Melihat hal ini, Victoria terlihat ikut menangis bangga sambil ikut bertepuk tangan.

Ketika penonton berhenti bertepuk tangan, David berterima kasih kepada istri dan ketiga anaknya karena menemaninya setiap hari. “Aku benar-benar beruntung bermain dengan beberapa tim hebat. Bermain untuk Inggris menjadi puncak dan hal terbesar dalam karirku,” mulainya.

“Maaf karena aku harus terus, tapi aku benar-benar harus berterima kasih kepada orang tuaku, yang telah berkorban banyak selama ini, saudariku, nenek-kakekku, keluargaku, temanku, orang-orang yang bekerja denganku, dan tentu saja, aku berterima kasih kepada istri dan anakku. Dia tidak hanya memberiku tiga bocah yang mengagumkan, tapi juga dukungan yang besar. Dia benar-benar menjadi inspirasi bagiku setiap hari. Jadi, Victoria, Brooklyn, Romeo, dan Cruz, thank you,” pungkasnya.

Setelah upacara pemberian penghargaan, Victoria sempat menulis di akun Twitternya dan berterima kasih kepada fans David, “Terima kasih banyak untuk semua dukunganmu untuk David. Resepsi hari ini benar-benar membahagiakan dan aku bangga kepadanya!! Tidak ada kata yang bisa menggambarkan betapa aku bangga kepada David. Benar-benar malam yang menyenangkan dan mengharukan. Aku juga bangga dengan pria-pria kecilku!!!” (ace/mae)

Dipublikasi di Olahraga, U m u m | Tag , , , , | Meninggalkan komentar

Puisi Menyambut Hari Ibu:

PUISI UNTUK IBU   *)

by Endah Retna on Tuesday, 21 December 2010 at 13:03

ibu…………..

di dalam hatiku

tersimpan masa lalu

saat ku kecil merengek minta mainan

saat ku menjerit karna merasa tak kau perhatikan

saat ku lempar kelereng hingga kaca lemari itu pecah berantakan

saat jemarimu luka memungut serpihannya

aku tetap meraung-raung tak peduli yang kau rasa

 

ibu…………..

direlung jiwa dan hatimu

kau simpan doa seluas samudera

untuk anakmu yang nakal dan selalu menggoda

untuk anakmu yang bandel dan selalu membantah setiap kata

untuk anakmu yang malas dan tak mau mengelap meja

untuk anakmu yang sekarang sibuk bekerja

seakan lupa engkau kini beranjak tua sendirian tanpa teman bercanda

 

ibu…………..

aku rasakan detak jantungmu menyuarakan rindu

tapi anakmu selalu menyalahkan jarak dan waktu

hingga belum juga bersimpuh di kakimu

hingga belum juga datang memeluk tubuhmu

 

ibu………….

maafkan anakmu

yang hanya mengirim setetes doa

yang luruh bersama air mataku

semoga Allah selalu melindungimu Amin

*) dari facebook Endah Retna

Dipublikasi di Seni Budaya, U m u m, W a n i t a | Tag , , | Meninggalkan komentar

Salam dari Mbah Pur

 

Mbah PurAssalamu’alaikum Wr, Wb,

PARA SAHABAT, INI BLOG SAYA: MBAH PUR.COM

Kalau anda punya tulisan, boleh nyumbang. Untuk pertamakali saya mendapat tulisan bagus dari Pak Yousri Nur Raja Agam, judulnya tentang Sinoman Khas Arek Suroboyo.

Luar biasa, ternyata tulisan tentang “Sinoman” ditulis dan digali oleh Bung Yousri, peneliti sejarah yang juga Ketua Yayasan “Peduli Surabaya”. Terimakasih Cak Yousri

Purnomo Siswanto alias Mbah Pur

Dipublikasi di Tak Berkategori | Meninggalkan komentar

Sinoman Khas Arek Suroboyo

Kiriman khusus untuk Mbah Pur dari sang sahabat Yousri Nur Raja Agam di Surabaya.


Mbah Pur, ini cerita tentang Sinoman Arek Suroboyo:

DALAM kamus Jawa atau “Bausastro Jawi”, karangan WJS Poerwadarminta, kata “Sinom”, artinya: pucuk daun, daun asam muda, bentuk rumah limas yang tinggi dan lancip, nama tambang mocopat, dan nama bentuk keris. Tetapi, jika kata Sinom mendapat tambahan akhiran “an”, menjadi “Sinoman”, maka maknanya menjadi: anak muda yang menjadi peladen di kampung saat acara hajatan, peladen pesta atau perhelatan, tolong menolong saat mendirikan rumah, kerukunan atau gotongroyong.

Tetapi di balik semua makna itu, terkandung sesuatu yang amat luhur dan terpuji. Sebab, kegiatan sinoman itu adalah bekerjasama, bergotongroyong yang dilakukan secara sukarela untuk kepentingan orang lain.

Rasanya, di alam serba maju dan kehidupan manusia metropolis, makna gotongroyong dan sinoman itu sudah diabaikan orang. Kendati demikian, ternyata hal yang mustahil itu tetap ada dan tidak pernah hilang. Memang, kalau di desa dan di kampung-kampung kehidupan masyarakatnya sangat guyub dan penuh kekeluargaan. Berbeda dengan di kota, yang masyarakatnya individualis, sudah jauh dari kebiasaan itu.

Di kota kegiatan sinoman sudah lama dipandang sebelah mata. Terutama oleh manusia materialistis. Orang kaya di kota, tidak mau repot. Semua masalah bisa diatur dengan uang dan membayar orang untuk keperluan apa saja. Termasuk urusan pengurusan kematian. Semua bisa diserahkan kepada perusahaan yang “berbisnis” di bidang pengurusan kematian ini.

Kematian adalah peristiwa alam yang pasti ada dan terus terjadi. Sama dengan kelahiran dan perkawinan. Sehingga manusia sebagai bagian dari makhluk hidup di dunia ini pasti akan mengalaminya.Dalam ajaran agama apapun, termasuk pula manusia yang  atheis, mengakui adanya kematian.

Firman Allah di dalam Al Quran, menyebutkan bahwa setiap insan akan menemui kematian atau maut. Kalau sudah waktunya, tidak ada yang mampu menolak ajal. Hal yang sama juga diyakini oleh semua orang di dunia ini sejak zaman dulu hingga masa yang akan datang.

Walaupun kematian merupakan peristiwa yang lumrah, tetapi tidak semua orang siap menerima kenyataan itu. Kematian bahkan, dianggap sebagai peristiwa luar biasa. Di saat itu ada orang yang merasakan merasakan kehilangan segala-galanya. Terutama jika yang meninggal dunia itu adalah kepala keluarga yang menjadi tonggak tempat bergantungnya semua kebutuhan rumahtangga.

Bagaimanapun juga, ternyata tidak semua persoalan dapat dilaksanakan dengan “bisnis”, termasuk kegiatan kematian. Rasa kebersamaan masih tetap ada. Tidak pernah terjadi sebuah peristiwa kematian dibiarkan begitu saja. Termasuk di kota-kota besar, seperti Surabaya, misalnya.

Justru, di kota-kota besar itulah muncul kegiatan sosial kemasyarakatan. Berbeda dengan di desa yang masyarakatnya sudah menyatu dalam sebuah lingkungan yang homogen. Dalam pergaulan heterogen, masyarakatnya akan mencari persamaan. Mencari hubungan antarmanusia. Misalnya, berdiri perkumpulan masyarakat di bidang sosial. Mereka berhimpun dengan dasar se-agama, se-asal daerah bagi para perantau, sama-sama satu almamater, se-organisasi, satu kelompok pengajian, sering bertemu dan berbagai alasan lain.

Di Kota Surabaya, kegiatan sosial yang disebut “Sinoman”, ternyata sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Prof.Dr.H.Roeslan Abdulgani (alm), tokoh tua yang berasal dari Surabaya, mengisahkan kepada penulis tentang “Sinoman”. Bahan-bahan ini diperoleh penulis saat mempersiapkan tulisan untuk buku “Cak Narto Peduli Wong Cilik” tahun 1997.

Sejarah kelahiran dan perkembangan Sinoman, adalah bentuk kegotongroyongan sosial. Tujuannya untuk membina dan meningkatkan kerukunan. Semboyannya adalah: “Rukun Anggawe Santoso” – rukun untuk menumbuhkan kesentosaan. Kita bisa kuat kalau kita rukun. Sebaliknya, bangsa yang jiwanya kuat dapat membangun kerukunan.

Dalam bahasa Jawa atau Sangskerta, kuat karena rukun dan rukun karena kuat,  disebut: “Dharma Eva, Hato Hanti”. Kuat karena bersatu dan bersatu karena kuat. Jadi, motto “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh, adalah sebuah kenyataan.

Nah, mengapa masyarakat Kota Surabaya memerlukan kekuatan dan kesentosaan? Tidak lain karena dalam kehidupan sehari-hari, kita semua menghadapi berbagai macam persoalan yang hanya dapat diselesaikan secara bersama-sama dengan bergotongroyong. Lebih-lebih sesama tetangga dekat. Hal ini sudah dialami warga Surabaya sejak zaman dulu, ketika dijajah Belanda dan Jepang, kemudian saat mempertahankan kemerdekaan yang dikenal dengan peristiwa pertempuran 10 November 1945, hingga sekarang ini.

Melalui Sinoman, warga Kota Surabaya dapat mengatasi berbagai masalah. Sinoman merupakan bentuk tertinggi dari jiwa kegotongroyongan. Dulu kehidupan kota Surabaya, masih sama dengan alam desa. Perubahan zaman membuat kehidupan kota terpengaruh.

Kegiatan Sinoman, awalnya terlihat dari kebersamaan memasang “terop” atau tenda, menyusun kursi dan alat-alat lainnya saat ada hajatan. Peralatan ini, milik bersama warga yang diperoleh dari “urunan”. Termasuk perlengkapan untuk kematian. Biasanya, di samping mushalla atau langgar, diletakkan “penduso” atau keranda jenazah. Juga alat-alat untuk pemandian jenazah, persediaan kain kafan dan wangi-wangian. Ini apabila untuk kematian. Lain lagi dengan pesta perkaiwinan, sunatan dan hajatan selamatan. Peralatan yang disimpan di gudang Sinoman adalah: piring, cangkir, gelas, lampu dan sebagainya.

Sekitar tahun 1930-an, sewaktu gerakan toko-toko koperasi muncul di mana-mana, Sinoman pun ikut bergerak dalam kegiatan koperasi konsumsi dan koperasin kredit. Di sini Sinoman menyediakan kebutuhan sehari-hari dan membantu pengusaha kecil dengan kredit dengan bunga rendah.

Sinoman pada zaman Belanda itu, muncul di kampung-kampung. Antar kampung yang berdekatan mendirikan “Raad Sinoman”. Seperti Raad Sinoman kampung Plampitan, Peneleh, Pandean, jagalan, Undaan, Genteng, Bubutan, Maspati, Kawatan, Koblen, Tembok dan sebagainya. Tidak kurang dari 20 Raad Sinoman waktu itu di Kota Surabaya.

Kata “Raad” berasal dari bahasa Belanda, yang artinya: dewan. Waktu itu, masyarakat Belanda di Kota Surabaya mendirikan “Gemeente Raad”, yaitu “Dewan Kotapraja”. Gemeente Raad itu menentukan pajak-pajak yang harus dibayar oleh rakyat di kampung-kampung yang disetorkan ke kantor Gemeente atau Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. Nah, agar rakyat Surabaya tidak diperlakukan sewenang-wenang, maka Raad Sinoman dibentuk untuk mengimbangi dan melawan Gemeente Raad.

Di zaman Jepang, Sinoman dipaksa untuk membantu peperangan. Sekalipun dipaksa menjadi “Tonarigumi”, yaitu Rukun Tetangga, namun usaha membela rakyat menghadapi penindasan Jepang terus dikobarkan. Di balik itu ada hikmahnya, karena di zaman Jepan itulah, Sinoman atau “Tonarigumi” dapat mendirikan pos-pos pemadam kebakaran terhadap bom-bom yang jatuh dan menolong korbannya.

Hal yang sama juga dialami saat pertempuran 10 November 1945. Karena yang tampil selalu anak-anak muda yang berjuang dan bekerja dengan sukarela, disebutlah kelompok anak muda itu “poro nom-noman”, lalu menjadi “Si Nom-an” atau kumpulan anak muda yang suka bergotongroyong untuk kepentingan bersama.

Penggeraknya Anak Muda

Sesuai dengan asal-muasal kata “Sinoman” adalah kumpulan anak muda yang suka bergotongroyong, maka di sini kegiatan amal dan sosial harus diutamakan. Artinya, kegiatan sinoman, harus bertujuan untuk membantu sesama dan demi kepentingan bersama. Kecuali itu, kegiatan sinoman harus mampu menghadapi tantangan zaman yang serba komersial dan bernuansa bisnis.

Berdasar catatan sejarah yang ada, sinoman pada awalnya memang sekedar wadah untuk menampung keinginan sekumpulan anak muda. Mereka ini ingin memperoleh pengakuan sebagai insan yang dipercaya dalam bidang sosial. Nah, karena kegiatan gotongroyong merupakan panggilan hati nurani, maka hal ini tidak sulit untuk diwujudkan. Walaupun demikian, perlu ada pendorong yang mampu menjadi pelopor sebagai penggerak.

Jelas di sini, sinoman sebagai kegiatan anak muda, maka motor penggeraknyapun harus para pemuda. Sudah menjadi hukum alam, bahwa kaum muda merupakan tulang punggung penggerak kegiatan dalam masyarakat. Tidak hanya di bidang sosial dan rumahtangga, tetapi lebih jauh lagi, yakni sebagai patriot pembela bangsa dan negara.

Kembali kepada kegiatan sinoman di Surabaya, pada tahun 1930-an saja, kegiatan sinoman sudah tertata rapi. Mempunyai pengurus tetap dan banyak inventaris. Barang-barang milik sinoman itu diperoleh dari sumbangan dan bantuan warga secara sukarela, maupun dibeli dengan uang kas.

Surabaya sebagai bandar pelabuhan dan tempat bertemu para pendatang, lama kelamaan menetap di darat. Dan para pendatang itulah, penduduk asli Surabaya. Sehingga tidak perlu heran, yang disebut “Arek Suroboyo”, berasal dari berbagai etnis dan suku bangsa, ujar Cak Roeslan  sesepuh Arek Suroboyo ini.

Nah, Surabaya terus berkembang dengan kehidupan warganya yang mulanya membawa budaya daerah masing-masing. Lama kelamaan masing-masing budaya dari berbagai daerah itu menyatu di Surabaya. Dari penggabungan berbagai adat istiadat itulah, kemudian lahir tradisi baru di Surabaya yang kemudian menjadi “budaya Surabaya”.

Karena budaya Surabaya itu mengadopsi macam-macam tradisi dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan juga dari mancanegara, maka nuansanya sangat dinamis. Di samping warna dominannya adalah budaya Jawa dan Madura, namun pengaruh adat Banjar dan Dayak dari Kalimantan, Bugis dari Sulawesi, serta pengaruh adat Sunda dan Melayu (Minang, Aceh, Riau dan Palembang dari Sumatera) juga terlihat dalam kegiatan seari-hari.

Tradisi masyarakat Surabaya, yang Islami dengan pengaruh kebiasaan umat Islam dan Arab, juga terasa ada dalam beberapa hal, pengaruh budaya Cina atau Tiongkok. Dan harus pula diingat, selama 3,5 abad kita dijajah bangsa Belanda dan Eropa yang membawa ajaran Kristen dan Katholik. Gaya dan pola hidup warganya sebagian seperti mereka itu. Selain itu semua, budaya Hindu dan Budha sebagai agama yang dianut nenek moyang kita dahulu kala juga masih tersisa dalam berbagai aktivitas warga Surabaya di alam modern ini.

Clifford Gertz, menyebut warga Surabaya pribumi bukanlah penganut ajaran agama yang fanatik. Warga Surabaya ini adalah: “masyarakat abangan”. Maksudnya di sini, kendati beragama Islam, mereka tidak sepenuhnya menjalankan syariat agama secara benar. Begitu pula mereka yang bukan penganut Islam. Masyarakat Surabaya di sini memang menjadi masyarakat marjinal. Mereka menentang ras dan etnis yang tidak seiman, tetapi tidak mampu menyatukan diri dengan mereka yang seiman.

Kondisi kejiwaan seperti inilah, ungkap Tom Pires dalam Suma Oriental, yang menjadikan masyarakat Surabaya menjadi masyarakat “kasar”. Dan paling tidak enak, adalah istilah yang diberikan oleh William H.Frederick, bahwa masyarakat Surabaya sebagai bangsa yang keras kepala.

Ada tiga contoh konkrit dalam sejarah yang merefleksikan kekerasan masyarakat Surabaya. Masing-masing tercermin dalam diri pahlawan rakyat Trunojoyo (Madura), Untung Suropati (Pasuruan) dan Sawunggaling (Surabaya). Kendati ke tiganya mewakili tiga daerah, namun ketiganya merupakan mata rantai yang saling terkait di Surabaya ini.

Memang, kegiatan pahlawan rakyat itu dicuatkan namanya dari daerah, tetapi pemberontakan yang menjadi latar belakangnya berawal dari pergolakan hidup di kota ini. Surabaya diibaratkan sebagai “pemilik tali penggerak gasing”. Sedangkan daerah yang menjadi tempat terjadinya pemberontakan berfungsi sebagai tempat berputarnya anak gasing.

Sejak ajaran Islam menjadi bagian kehidupan masyarakat di pantai utara Jawa, sebagai agama yang disebarkan para sunan “Wali Songo”, tradisi Islam mulai berpengaruh dalam kehidupan sosial budaya. Di sinilah, terasa aktivitas anak muda sebagai “peladen” di tengah khalayak. Budaya “Sinoman” terus berkembang dalam bentuk kombinasi berbagai  adat dan ajaran yang manusiawi.

Elastisitas manusia Jawa, yang mempunyai kecenderungan sinkretis, memberi kemungkinan menerima pengaruh itu. Sinoman di Surabaya mempunyai akselerasi untuk berkembang cepat. Sebab, sinoman merupakan ruh yang mempersatukan kesamaan asal,  rasa senasib dan kesamaan iman antarpendatang atau urbanis.  Kehidupan keras yang dilingkupi tradisi hasil asimilasi nilai Islami dengan pranata kedaerahan, memberikan kemungkinan sinoman berkembang subur.

Sinoman Lama

Melalui sinoman, warga kota bisa menyatukan persepsi dan mengekspresikan diri secara bebas. Sebab sinoman merupakan wadah untuk berhimpun, melalar kenangan dan sekaligus sebagai sarana untuk melakukan perlawanan bila dibutuhkan.

Di balik kemajuan dan perkembangan sinoman di masa lalu, ternyata “menyimpan bara”. Penyatuan antarwarga “kasar dan abangan” itu, telah menjauhkan komunikasinya dengan warga lain yang berasal dari etnis Cina, Arab dan India. Bagi masyarakat keturunan Arab, mereka tidak begitu peduli – karena ada semacam pengkultusan – namun tidak demikian halnya dengan warga keturunan Cina, India dan Eropa yang berkuasa waktu itu.

Di zaman penjajahan Belanda, sinoman sempat menjadi “musuh” warga keturunan Cina, karena mereka senang berlindung di balik penguasa. Waktu itu warga pribumi mulai dirangsang dan bangkit untuk merdeka. Kebencian terhadap Belanda, juga menimbulkan antipati terhadap etnis Cina. Warga keturunan ini diasumsikan sebagai warga a-sosial, sosialisasi kerakyatannya lemah dan cenderung tidak mau tahu persoalan yang berkembang di luar diri dan etnisnya. Tidaklah mengherankan, kalau William H.Frederick, melontarkan kalimat “Cina singkek” untuk warga keturunan yang masa bodoh terhadap lingkungan sekitar itu. Konotasinya memang jelek, sehingga dalam hal tertentu sering dijadikan bahan ejekan.

Sejarah memang tidak dapat dipungkiri. Dari zaman ke zaman, situasi dan kondisi mengalami perubahan. Sinoman lama, di masa penjajahan Belanda dan Jepang, memang tidak sama dengan sinoman masa perjuangan kemerdekaan. Lalu, setelah merdeka dan masa kini, juga lain. Bahkan, pola baru sinoman di era kehidupan metropolis tampil beda, tetapi ruh dan cita-citanya tetap sama.

Sinoman Baru

Kegiatan Sinoman terus berkembang dan juga berubah. Pola tradisional yang hidup di kampung-kampung dalam Kota Surabaya, mulai dipengaruhi gaya hidup masyarakat kota Metropolitan. Kegiatan kemasyarakatan yang biasanya menjadi bagian dari kegiatan sinoman yang sepenuhnya bersifat sosial, ada yang sudah beralih menjadi “ajang” bisnis atau sekurang-kurang bernuansakan pamrih.

Salah satu contoh yang sangat mencolok adalah kegiatan pemakaman. Kalau dulu, setiap orang terpanggil dan berebut untuk menggotong keranda jenazah atau “penduso”, kini banyak yang berpangku-tangan, menyerahkan kegiatan itu kepada perusahaan yang mengurus penguburan. Hal yang sama juga terlihat saat jenazah akan dikuburkan ke liang lahat. Anak-anak dan keluarga terdekat biasanya langsung terjun menunggu jasad almarhum atau almarhumah di dalam lubang kuburan, kini adakalanya dilakukan oleh “orang lain”.

Yang lebih tragis lagi, untuk memandikan dan mendoakan jenazah almarhum atau almarhumah juga ada yang “diserahkan” kepada orang lain. Ini, karena modin tidak ada di kawasan permukiman itu.

Kalau “orang lain” itu adalah tetangga dan kerabat keluarga yang sedang berduka, masih tidak masalah, karena sifatnya masih sosial dan sukarela. Tetapi, kalau yang manggali, menguburkan sampai menimbun kembali tanah ke lubang kuburan semuanya “orang lain” yang dibayar dan berasal dari perusahaan jasa penguburan ata pemakamam, maka akan lenyaplah ajaran agama Islam dan tradisi nenek moyang kita.

Seandainya hanya membawa jenazah karena tempat pemakaman jauh dari rumah duka dengan mobil jenazah harus dibayar, rasanya masih wajar. Begitu pula menggali  dan menimbun kembali tanah ke lubang kubur dilakukan oleh para penggali khusus yang sudah ada di lokasi pemakaman, semua itu masih dapat dimaklumi. Tetapi, kalau sampai hal-hal yang khusus sesuai dengan ajaran agama dan tradisi semua “diborongkan” kepada perusahaan pengelola jenazah dan pemakaman, tentu sangat menyedihkan. Sebab tradisi seperti itu, hanya lumrah kita saksikan pada masyarakat non Muslim, seperti warga Tionghoa atau Cina, misalnya.

Kegiatan bisnis pengurusan jenazah dan pemakaman di kalangan umat Islam dan “Arek Suroboyo”, kalau tidak segera dibendung, bisa saja terjadi seperti yang berlaku di masyarakat non Muslim itu. Suatu saat akan kita saksikan pola pengurusan jenazah seperti dalam kehidupan masyarakat Tionghoa. Ada tempat penghimpunan dan upacara seperti yang dikelola Yayasan “Adhi Yasa” di Jalan Demak Surabaya. Bahkan pengurusan jenazah, pengangkutan sampai penguburan juga dilakukan oleh yayasan atau perusahaan.

Dengan Sinoman, seharusnya semua itu tidak terjadi. Tidak usahlah kita meniru pola perusahaan pengurusan jenazah “Carrara” yang berdiri sejak tahun 1948. Juga jangan seperti “Ario” yang memborong segala kebutuhan jenazah. Atau “Tiara” yang mengiklankan ambulance full AC. Juga seperti Yayasan  “Gotong Royong” dan “Bagus Abadi” , serta masih banyak lagi yang lain.

Sinoman yang merupakan tradisi bernuansa Islami, harus tetap dipertahankan dan dikembangkan keberadaannya di era modernisasi dan kehidupan kota Metropolitan yang metropolis ini. Sekurang-kurangnya tradisi itu dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman, tanpa harus mengurangi nilai ajaran agama dan leluhur.

Warga Surabaya, ternyata mampu membuktikan ketahanan masyarakatnya membendung dan melakukan antisipasi terhadap gejala global itu. Sinoman mengalami kemajuan dengan adanya peremajaan dan periodesasi kepengurusan. Ini memperlihatkan, bahwa organisasi sinoman sudah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat Surabaya.

Secara organisasi, sinoman dapat menanamkan sendi-sendi berorganisasi. Ini dapat dilihat dengan adanya kesadaran membayar iuran dan sumbangan sukarela pada saat tertentu. Dalam wujud nyata, sinoman yang di zaman pra-kemerdekaan sempat melibatkan diri dalam kegiatan politik, sekarang “sudah bersih” dari pengaruh itu dan murni menjadi paguyuban sosial.

Kalau dulu, pada saat “Sinoman Lama”, warga keturunan Cina, Arab dan India  menjadi warga elite yang “dimanjakan” penjajah, setelah Indonesia merdeka, mereka secara bertahap melibatkan diri dalam kegiatan di lingkungan permukiman. Mereka sudah bisa menyatu dan membaur dengan warga sekitar. Di beberapa kawasan permukiman, merekapun duduk sebagai pengurus sinoman.

Untuk menghidupi organisasi sosial sinoman ini, bukan tidak ada yang berbau bisnis. Dari iuran dan sumbangan warga, dibelikan barang-barang keperluan hajatan. Mulai dari terop (tenda), kursi, meja, piring, gelas, sendok, sampai alat pengeras suara (sound system). Agar barang-barang ini tetap utuh dan bisa bertambah, maka kepada yang menggunakannya diharapkan bantuan sukarela. Memang, ada tarif yang ditetapkan untuk masing-masing barang, tetapi bagi keluarga yang tidak mampu dan benar-benar dalam keadaan susah, dipinjamkan secara gratis. Bahkan mendapat bantuan uang duka dari urunan warga.

Dalam sejarahnya, memang sempat terjadi pengaruh dalam perkembangan sinoman di kota Surabaya. Pada tahun 1980-an, saat kegiatan pembangunan kota sudah mengarah pada kegiatan penggusuran. Masyarakat kampung dalam kota Surabaya mulai terpencar ke pinggir atau ke luar kota. Walaupun ada kelompok sinoman yang “bubar” akibat kampungnya tergusur, ternyata di permukiman baru atau kawasan realestat, sudah ada yang mendirikan paguyuban sinoman.  Namun, merintis berdirinya sinoman di kawasan permukiman baru tidak gampang. Harus ada yang berani mempelopori, karena awalnya di antara sesama warga baru yang belum saling kenal, tentu mempunyai sikap hati-hati, agar niat luhur itu diterima dengan keterbukaan.

Keberadaan sinoman ini, memang bukan “monopoli” warga Surabaya. Hal yang sama juga ada di tempat lain. Di Jakarta, ibukota negara Republik Indonesia, hidup warga asli yang disebut: masyarakat Betawi. Di sini juga ada tradisi dan adat yang sama. Selain itu juga banyak perantau dan pendatang dari berbagai daerah, suku bangsa di Indonesia, serta yang berasal dari negara lain.

Kehidupan masyarakat metropolitan Jakarta, memang tidak memusnahkan tradisi desa atau kampung asal para perantau. Sebagaimana masyarakat daerah atau suku lain di Indonesia, perantau yang berasal dari Surabaya ternyata berhasil membentuk paguyuban Sinoman Suroboyo.

Sesepuh Surabaya, Cak Roeslan Abdulgani yang sudah lama bermukim di Jakarta, mengatakan, kegiatan sinoman di Jakarta ini sejalan dengan adanya Paguyuban Arek Surabaya.  Organisasi sinoman warga Surabaya di Jakarta bernama “Sinoman Keluarga Besar Surabaya Jawa Timur”. Kegiatannya sama dengan sinoman pada umumnya. Namun, yang paling utama adalah apabila ada keluarga yang ditimpa kemalangan, khususnya meninggal dunia.

Semangat sinoman di Jakarta ini begitu kuat pada tahun 1970-an. Sampai-sampai diciptakan lagu berjudul “Sinoman Suroboyo” Lagu dan syair ini adalah karya H.Nur Azhar yang diciptakannya pada bulan Maret 1979 di Jakarta. Inilah lirik dan syair lagu “Sinoman Suroboyo” tersebut:

Sinoman Suroboyo Rek – paguyuban kanggu kepentingan amal ; kumpulanne sing nduweni timbang roso. Tinggalane wong tuwo Rek – ayo kudu diterusno. Sinoman Suroboyo Cak – gotongroyong sing dadi tujuan utomo. Mulane ojo’ lali Cak – iku prilaku sing mulyo, iku kepribadian bongso.

Kaping pisan: tulung tinulung, kaping pindo: ndaweg sing rukun, kaping telu: tambah sedulur, kaping papat: ojo’ sok mbeda’-beda’no. Kabeh mau margo Sinoman – ilingo sing kerepotan – kapan maneh urip ning ndonyo – sing sok ngadoh – mburine tibo nelongso. Pancen apik seneng bergaul – semboyane mangan ndak mangan nek kumpul.

Sinoman Sidomulyo Rek – sing nom-noman jo’ sembrono. Sinoman Margorukun Cak – sing mbegedut musti getun. Sinoman Sidorame Ning – sing emanan isin dewe. Sinoman Sukolilo Wak – abot enteng lakonono.

Demikian lirik, irama yang syahdu dapat membangkitkan semanat persatuan, kesatuan dan guyub untuk bergotongroyong dalam nyanyian berbahasa Jawa dialeg Surabaya itu.  ***

*) Yousri Nur Raja Agam – Ketua Yayasan Peduli Surabaya.

Dipublikasi di Tak Berkategori | Tag , , , , , , | Meninggalkan komentar

Halo dunia!

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!

Dipublikasi di Tak Berkategori | 1 Komentar